Thursday, August 11, 2016

Hari



Hari
Oleh : Hafendra Adam

Pagi.
Tidak ada kokok ayam. Tidak ada kicau burung, semua sunyi. Laki-laki itu tidak mampu melihat keluar. Jendelanya dipasangi teralis besi, hampir menyentuh langit-langit. Terlihat sedikit sinar matahari menyelip dari sela-sela teralis. Debu-debu kemerahan melayang-layang, disinari cahaya yang enggan hadir di ruangan. Bau darah basi menyengat dari tumpukan mayat yang berserakan dalam kamar berbentuk kotak. Sepasang bola mata di pojok ruangan menatap kosong ke arah pria itu. Merah keruh darah menghiasi temboknya.
Namanya Jun. Wajahnya samar tertutup rambut panjang berminyak. Seluruh wajahnya berlumur darah yang menjadi kerak, menyatu dengan kulitnya. Tubuhnya kurus, matanya menatap lantai semen yang juga dipenuhi bercak darah. Tangannya berpangku dengkul, jemarinya memegang sebuah jari tengah busuk berkerubung lalat-lalat hijau menjijikkan. Sinar matahari yang menyelip masuk dari sela teralis seakan takut menyinari tubuhnya. Jun seorang diri bersama mayat-mayat dan lalat-lalat yang mencari nafkah ditengah ruangan yang cahaya pun ogah. Jun belum sarapan. Ia lapar.
Suara seorang wanita muncul dari pintu besi kamarnya, menanyakan kabar. Jika kita hadir disana, terdengar jelas nada mengejek si wanita itu. Tapi tidak untuk Jun, yang tidak mengerti kata-kata. “Aku membawakan sarapan untukmu Jun, masih segar, baru ditangkap subuh tadi.” Selot kotak di pintu kamarnya terbuka, cukup besar untuk memasukkan sekotak kado natal, tapi yang muncul adalah sepotong tangan. Sepotong tangan dengan jari dihias kuteks berwarna pink. Tangan itu dilempar ke dalam kamar. Mata Jun melotot kegirangan. Kelaparannya berbicara. Langsung dilumatnya tangan itu, darah segar bercipratan kemana-mana, membasahi kasur Jun yang hanya dilapisi karpet angkot. Buru-buru selot itu ditutup oleh si wanita. “Jangan disisakan ya Jun, mubazir nanti.” Suara wanita itu menjauh meninggalkan kamar Jun sambil terkekeh-kekeh. Jun tidak lagi lapar.

Siang.
Wanita itu duduk di tengah ruangan besar di bawah lampu 60 watt. Tanpa jendela tanpa pernak-pernik di tembok, hanya diterangi satu lampu dan diisi meja berbentuk donat dengan si wanita duduk ditengah-tengahnya. Ia melihat sekeliling, pria dan wanita berpakaian rapi, lengkap dengan setelan mahal, hanya saja mereka mengenakan sebuah pin merah di dada kiri, entah penanda apa. Wanita itu tahu persis simbol itu, tapi di matanya pin itu hanya simbol dosa besar, dosa masa lalu. Mereka mengelilinginya, sekilas terlihat seperti rapat pemegang saham sebuah perusahaan. Tapi bukan, di benak si wanita ini sebuah rutinitas yang sudah ia alami berulang kali sejak ia bekerja disini, ia bosan.
 “Bagaimana Wulan, apa Jun sudah siap?” Tanya seorang pria bersuara serak yang duduk tepat di depannya. “Sangat.” Jawabnya singkat. “Kapan Jun bisa operasional?” sahut suara wanita tua di sisi kiri Wulan. “Secepatnya.” Suara Wulan tenang, tanpa emosi, sudah seharusnya seperti itu. Dalam pekerjaannya, emosi atau perasaan atau apapun itu sama sekali tidak dibutuhkan. “Baik kalau begitu. Malam ini Jun akan kami berikan tes lapangan, semoga penilaianmu benar Wulan. Kau tidak ingin kejadian malam itu terjadi lagi. Kehilangan aset bukan sesuatu yang bisa kami tolerir.” Wulan mengangguk mendengar pernyataan pria serak didepannya. “Silakan kembali Wulan, kami tunggu malam ini. Semoga ikatan darah tidak mengkhianatimu seperti sebelumnya.” Wulan tidak menjawab apa-apa, ia hanya mengangguk kecil tanda menyetujui nyawanya akan hilang jika percobaan kali ini gagal. Pandangannya seakan menginginkan itu, ia ingin mati.

Sore.
Dari kamar Jun terdengar suara erangan dan teriakan yang mengerikan. Jun menendang-nendang dan menghantamkan kepalanya ke pintu kamarnya. Membuat para penjaga yang ditugaskan di depan kamarnya lari ketakutan. Takut jika tiba-tiba pintu kamarnya yang terbuat dari besi itu akan didobrak oleh si makhluk menjijikan itu. Tapi tidak mungkin, Jun tidak memiliki kekuatan super. Bisa apa seorang (atau sesuatu) yang hanya diberi mayat dan binatang-binatang untuk makan mendobrak pintu besi yang katanya digunakan juga untuk menahan beruang grizly di taman safari? Secara akal sehat sangat tidak mungkin. Tapi rasa takut memiliki cara untuk merasuki orang-orang bodoh, seperti dua penjaga itu yang saat ini sedang terbirit lari mencari rasa aman. Langit sore yang sedang cerah-cerahnya, seperti menertawakan mereka berdua dari balik jendela besar koridor.
Jun kelaparan lagi. Makan siangnya habis. Teman barunya tinggal tulang belulang dan tengkorak seorang pria muda yang masih berlumur darah segar bekas makan siangnya tadi. Daging, urat dan ototnya sudah bersih jadi makan siang Jun. darahnya habis pula jadi minuman agar tenggorokannya tidak serat. Jun liar melompat sana-sini dalam kamarnya yang berbentuk kotak itu, menghabiskan seluruh sisa-sisa bangkai dan mayat yang ada. Beberapa kecoak dan cecak yang sekedar lewat bernasib na’as jadi kudapan sore Jun.
Bau kotoran, bangkai, darah dan keringat tidak jelas lagi terbagi menciptakan wewangian baru yang khas. Semua bercampur dalam kamar Jun. Hanya orang-orang yang sudah kehilangan syaraf indra pembau dan penglihat yang mampu menguatkan diri masuk kesana. Seburuk-buruknya pemandangan dan bau di bumi tersaji dalam kamar kotak itu, kamar Jun. Suara teriakan dan debuman terdengar mengerikan dan menyedihkan disaat yang sama. Jun, yang lapar, Jun yang mengerikan, dan Jun yang menyedihkan. Langit sore yang tadinya cerah, menutupi diri dengan awan dan burung-burung yang berpindah entah kemana, enggan mengintip dari balik awan.
Lorong depan kamar Jun kosong melompong. Tapi Jun tidak tahu itu. Yang ia tahu hanya kepalanya yang kini mengalir darah segar terhantam tembok beton. Ubun-ubun kepalanya bocor. Darah baginya bagai air mineral bagi kita. Jun menganggap setiap hantaman akan menghilangkan dahaganya sedikit demi sedikit. Membuat darahnya makin deras memancar tidak hanya dari ubun-ubun kepalanya, tapi juga dari dahi dan matanya. Kegiatan olahraga Jun setiap harinya adalah menggedorkan kepalanya ke tembok dan pintu. Setiap sore, mulai dari adzan ashar, hingga adzan maghrib. Mengadu suara Muadzin dengan debaman dan teriakannya yang menyuarakan kengerian.
Tanpa Jun ketahui, Wulan berdiri di depan pintu kamarnya. Mendengarkan, memperhatikan setiap suara yang keluar dari kamar Jun. debaman dan erangan, suara gigi melumat mayat, suara lidah menjilat kulit-kulit bangkai, seakan mencari kedamaian dari suara mengerikan itu. Wajah Wulan basah. Air mata keluar dari mata kanannya, yang disusul mata kirinya. Dua tetes air terjun air mata mengalir perlahan menyusuri wajah Wulan. Ia terdiam, dalam dua tetes air mata itu, Wulan mengawang, perasaannya memberontak, memantik kembali sesuatu yang ia pendam semenjak lama. Sejak suaminya dibantai anak pertamanya, Jana.
Kamar Jun hening tiba-tiba. Tidak terdengar apa-apa. Sesunyi lorong ini ditengah malam. Hanya terdengar suara adzan maghrib. Wulan tersadar dari bengongnya, menyadari bahwa matahari telah tenggelam. Waktu olahraga Jun berarti sudah selesai. Wulan mengusap air matanya, lalu membuka selot di pintu kamar Jun. langsung tercium bau yang teramat sangat menyengat, seperti kamar mayat tanpa pengharum ruangan. Sambil menahan napasnya, Wulan mengintip, terlihat kepala Jun yang ditutupi rambut yang warnanya tidak jelas lagi, merah keruh darah. Sudah biasa seperti itu. Jun tidak akan mati, tidak dalam waktu dekat. Wulan mengeluarkan pistol beramunisi semacam jarum suntik, yang diisi dengan cairan adrenalin. Menembakkannya ke kepala Jun, tepat di dahinya. Selang beberapa menit, Jun teriak. Berbeda dengan teriakannya sebelumnya, suara yang keluar dari tenggorokannya lebih mengerikan, seperti teriakan orang yang baru saja kembali dari neraka. Terus teriak dan menggeliat dalam kamarnya, mencabik tubuhnya sendiri, mengeluarkan darah segar. Bermandikan darah, Jun hidup kembali. Sementara Wulan, bertemankan cahaya bulan yang buram dari balik jendela, melangkahkan kaki pergi, diiringi adzan isya yang baru saja berkumandang.

Malam.

Persiapan untuk tes lapangan Jun sudah selesai. Orang-orang yang siang tadi menyidang Wulan hadir, duduk di sebuah ruangan dengan kaca besar untuk menyaksikan Jun. ruangan tersebut tepat di bagian atas sebuah tempat yang seperti koloseum di Roma. Hanya saja berbentuk kotak dan terbuat dari beton berwarna abu-abu, disinari lampu besar di dua sisi tempat tersebut. mayat-mayat prajurit berseragam, gembel-gembel dan preman-preman pinggir jalan bertebaran dimana-mana, dengan bagian tubuh yang tersebar. Darah kering menjadi keramik pelapis tanah koloseum itu. seperti versi lebih luas dari kamar Jun. hanya ada dua pintu, satu pintu kecil di satu sisi, dan satu pintu besar di sisi yang berlawanan.
Terdengar beberapa langkah kaki dipimpin oleh suara sepatu berlapis hak tinggi menggema sampai ke kamar Jun. Wulan dengan beberapa orang penjaga berpakaian lengkap layak militer berjalan menuju kamar Jun. mereka tiba, para penjaga Wulan minta menunggu sementara ia yang akan menghampiri Jun. sebelum membuka pintunya, Wulan menembak Jun dua kali di dahi dan dadanya lewat selot di pintu kamar Jun, membuatnya tidak sadarkan diri.
Melihat pintu terbuka, para penjaga mengambil langkah maju, sambil mempersiapkan persenjataan. Tiga orang menggunakan peluru tajam, sementara dua sisanya menggunakan peluru bius. Sebelum langkah kedua mereka turun ke lantai, tangan Wulan sudah maju, menandakan agar mereka tidak melangkah lebih dari tempat mereka berada sekarang. “aku akan memanggil kalian.”. Mereka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa wanita itu menahan bau yang sangat mengerikan itu masuk ke dalam hidungnya? Sementara mereka yang menggunakan masker masih harus sedikit menahan nafas.
Bulan ditutupi awan kelabu. Menunjukkan gestur seakan ingin menurunkan hujan. Wulan menghilang masuk ke dalam kamar Jun. hidung dan matanya tidak mempedulikan bau dan pemandangan yang tersaji di kamar itu. seperti ia mematikan ke-empat syaraf pengindera dalam tubuhnya, dan memusatkan semuanya ke indera pengihatannya. Seluruh tubuh Wulan tertuju pada Jun yang kini terkapar di atas tumpukan mayat.
Wulan berlutut. Membiarkan rok mahal yang ia kenakan tercium darah yang membusuk. Wajahnya menunduk, tepat diatas wajah Jun. kotor, dan menjijikkan, dua kata yang muncul di kepala orang-orang pada umumnya jika melihat wajah makhluk aneh itu. tapi bukan dua kata itu yang muncul. orang bilang mata dan wajah bisa berbicara, tapi tidak wajah Wulan saat ini. Wulan terus menatap wajah Jun, entah untuk apa. tiba-tiba bibirnya bergerak perlahan, mengucapkan sebuah kata tanpa mengeluarkan suara.
“Kalian boleh masuk sekarang. langsung bawa ke ruangan.” Panggil Wulan. Wulan bangun, merapikan pakaiannya. Para penjaga masuk, empat orang menggotong Jun yang sedang terkapar, satu orang berjaga-jaga di belakang mereka. Satu orang, yang terlihat seperti pemimpin mereka, menanyakan kepada Wulan, kenapa ia tidak ikut mereka menuju ruangan. “nanti saya akan menyusul.” Jawab Wulan tenang. Si prajurit mengangguk, berjalan mengikuti di belakang barisan.
Jun membuka mata. Cahaya lampu menghantam matanya diantara gelapnya langit malam. Ia belum pernah melihat cahaya lampu seterang ini sebelumnya. Di depan matanya sudah terhampar lapang luas yang menyambutnya riang dengan darah dan potongan-potongan tubuh. Seperti kamarnya, hanya saja lebih luas cukup menampung 1000 orang. Jun gelagapan. Lari-larian sana sini, mengerang, meneriakkan teriakan bak terompet sangkakala. Jun belum makan malam. Ia lapar.
“buka pintunya.” perintah entah dari siapa muncul di pengeras suara di pojok-pojok ruangan.  Terbuka pintu-pintu kecil di sisi yang berlawanan dari Jun berdiri. satu-persatu, baris berbaris manusia muncul, berpakaian militer bersenjata tajam, semua berlari menuju Jun. mata Jun berkilat, laparnya akan segera hilang. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Jun tersenyum. pesta makan malam.
Wulan tidak perlu untuk menyaksikan bersama para petinggi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di lapangan. Suara-suara teriakan mereka sudah cukup menceritakan semuanya. Tangis, permohonan ampun, penyesalan, kengerian, ketakutan dan tentang betapa menyedihkannya hidup mereka menjelang kematian, semua terlihat jelas dari suara mereka. Wulan menyeringai, berjalan menjauh dari penderitaan mereka.
Para petinggi beruntung hanya mampu melihat, tidak menyium bau yang keluar dari kengerian yang baru saja mereka saksikan. Meskipun begitu, mereka tidak menyukuri keberuntungan mereka. Beberapa dari mereka menutup mata, muntah, tidak kuat melihat apa yang dilakukan Jun pada prajurit-prajurit tersebut. namun ada beberapa yang bersemangat melihatnya, sampai menempelkan wajah ke jendela agar bisa menonton Jun mencabik, mengoyak, menggerogoti para makhluk malang yang menjadi makan malamnya. Tidak hanya kesadisan yang ditunjukkan Jun, kecepatannya menghindari sabetan dan terjangan menjadi daya tarik bagi para petinggi. Tidak perlu waktu lama sampai muncul keputusan “dia siap.” Dari mereka. Koloseum gadungan itu menjadi prasmanan perdana bagi Jun.
Makan malamnya sudah habis. Perutnya belum menjinak. Jun butuh makanan penutup. Jun menyadari jendela dengan para petinggi di baliknya, makanan penutupnya malam ini. melihat dibelakangnya ada pintu besar, Jun langsung menerjang pintu tersebut, menghantamnya sekuat-kuatnya berkali-kali. Mencoba merobohkan pintu yang memisahkannya dengan makanan penutupnya.
“tenang saja, ia tidak akan mampu menembusnya. Kalaupun dia mampu, masih ada barisan keamanan bersenjata lengkap yang harus ia lewati. Kita aman disini.” Ucap si pria bersuara serak yang sebelumnya menyidang Wulan berusaha menenangkan teman-temannya. Memang, harus melewati halangan-halangan tersebut untuk menyantap makanan penutupnya. Tapi mereka tidak mengecek kembali, apakah pintu yang memisahkan mereka dengan Jun terkunci atau tidak. Berapa orang yang ditugaskan Wulan untuk menjaga mereka, mereka tidak tahu.
Teriakan-teriakan menyedihkan dan mengerikan sahut-sahutan dari balik pintu. Jun sudah menghilang dari koloseum. Jun kini di balik pintu tempat mereka menonton. Pasukan pengamanan yang mereka andalkan mati jadi makanan Jun. dua orang bersenjata lengkap yang Wulan tugaskan tidak cukup untuk menahan kelaparan Jun yang membabi buta. Dua orang yang sama tidak mampu memenuhi birahi perut Jun. santapan makan malamnya masih tersedia di balik pintu.
para petinggi mencari cara untuk melarikan diri dari Jun. tapi hanya ada satu pintu keluar dan masuk, jendela-jendela ruangan tersebut terbuat dari kaca anti peluru setebal 8 inci sehingga percuma mereka tembaki berkali-kali sekalipun. Mungkin akan hancur jika dilempari granat atau menggunakan bazooka. Namun tidak dengan pistol kecil kaliber 9 cm. mereka mulai putus asa. Si pria bersuara serak yang tadinya paling tenang di ruangan, menjadi yang paling panik. Sangat terlihat dari raut muka dan gelagatnya yang terus memukuli jendela dengan kursi. Mereka panik. Mereka akan mati.
Pintu ruangan hancur dalam sekali terjangan oleh Jun. Wulan tidak pernah mengunci pintu tersebut. makanan penutupnya di depan mata. Permohonan ampun disertai teriakan-teriakan mengiringi kematian mereka satu persatu bersamaan dengan rahang dan tangan Jun yang menggerakkan diri, mengakhiri hidup mereka. Jun menjadi pemandangan terakhir yang mata mereka lihat. Santapan makan malam Jun lengkap sudah.
“sudah kenyang Jun? atau masih mau lagi?” Wulan berdiri tepat di depan pintu. Membawa potongan-potongan kaki berlumur darah yang masih segar. Jun hanya menjawab dengan raungan dan kaki yang menderap ke arah Wulan. Wulan menghindarinya, berlari entah kemana. Namun kedua kaki yang tadi dibawa oleh Wulan tergeletak di lantai, lalu diikuti dengan potongan-potongan jari kaki yang seakan-akan membentuk jejak, mengarah ke satu tempat. Jun menyantap jari-jari tersebut dengan nikmat. Tanpa menyadari bahwa ia sedang diarahkan.
Jari-jari kaki tersebut berhenti menyediakan diri tepat di depan kamar Jun. Ia melihat kedalam kamar, melihat Wulan terbaring di kasurnya yang menjijikkan dalam kondisi telanjang bulat hanya ditutupi dengan secarik kertas kecil di atas perutnya, seakan menyerahkan diri untuk disantap Jun. “silakan Jun, sudah lama bukan kau kusediakan daging hidup apalagi daging ibumu sendiri?” ucap Wulan menyeringai. Jun yang tidak pernah mengetahui kata-kata dan cara berbicara hanya bisa langsung menanamkan kuku dan giginya pada Wulan. Wulan menjadi makan malam kedua yang paling enak dan mengenyangkan bagi Jun. Jun terkapar, ia kekenyangan, ia hidup malam ini.             
         


Bisik-bisik kaca kedai



Bisik-bisik kaca kedai
4/9/2016

Tidak banyak yang sadar
Bahwa suara dan maknanya memantul seenaknya
Bahwa diam bukan sebuah pilihan
Seperti air tak terlihat mengalir nakal

Tidak banyak yang tahu
Bahwa suara dan maknanya menguap
Mengisi ruang hampa
Hampanya tak ada diisi udara

Tidak banyak yang merasa
Bahwa suara dan maknanya meraba
Mengelus manja kata
Menyentuh kulit gendang telinga

Diminum dan dihirup
Dirasa dan dicerna
Bulirbulir suara
Yang memantul di depan kaca


Perang



                                                            

Perang
19/7/2016

Berapa lama manusia lalu-lalang di pinggir jalan?
Sayang, kakimu kuyakin sudah bopal sana sini
Lebih baik kau istirahatlah dulu
Sebentar sana, meregangkan kaki, melemaskan urat dan otot yang kuyakin sudah merana
Barang 5 sampai 10 menit sudah cukup, silakan kalau mau lebih, aku mewajarkan
Karena seperti kata orang-orang lampau, setiap langkah adalah peperangan
Dan setiap tujuan adalah khayalan

Tahukah kau sayang, bahwa dulu perang tidak hanya dengan pistol dan tank
Bahkan kini, bagiku perang-perang dan pembantaian yang marak di layar-layar ponsel bukanlah perang
Namun hanya permainan semata, pembuangan uang dan nyawa yang tidak ada tujuannya
Sayang, kehidupan bagi mereka yang mati di medan perang bukan bentuk bahagia
Selayaknya kerbau kurban di idul adha

Beberapa orang, yang mungkin kini sudah berbahagia di liang lahat
Berkata bahwa sejak kita tertanam di dalam Rahim
Hingga tertidur lelap di bawah tanah
Terjadi sebuah peperangan tanpa akhir, yang tidak pernah dimulai
Dan tanpa tujuan
Kata mereka, hati-hatilah kalian perang terbesar yang terjadi bukan dengan senjata dan nyawa
Hati-hati pula bahwa perang bukan tanpa korban

Setelah kau istirahat sayang
Kau akan kembali melangkah menambah luka dan bopal di kakimu
Di atas tanah kotor penuh darah dan pohon-pohon mati
Hati-hatilah sayang bukan suara-suara ini yang kau dengar nanti
DOR! BUM! PSIUUUU DUAR!!! DDEDEDEDEDEDEDERR!!!
Sayang, itu bukan perang
Hanya catur dengan korban jiwa