Hari
Oleh :
Hafendra Adam
Pagi.
Tidak ada kokok ayam. Tidak ada kicau burung, semua sunyi.
Laki-laki itu tidak mampu melihat keluar. Jendelanya dipasangi teralis besi,
hampir menyentuh langit-langit. Terlihat sedikit sinar matahari menyelip dari sela-sela
teralis. Debu-debu kemerahan melayang-layang, disinari cahaya yang enggan hadir
di ruangan. Bau darah basi menyengat dari tumpukan mayat yang berserakan dalam
kamar berbentuk kotak. Sepasang bola mata di pojok ruangan menatap kosong ke
arah pria itu. Merah keruh darah menghiasi temboknya.
Namanya Jun. Wajahnya samar tertutup rambut panjang
berminyak. Seluruh wajahnya berlumur darah yang menjadi kerak, menyatu dengan
kulitnya. Tubuhnya kurus, matanya menatap lantai semen yang juga dipenuhi
bercak darah. Tangannya berpangku dengkul, jemarinya memegang sebuah jari
tengah busuk berkerubung lalat-lalat hijau menjijikkan. Sinar matahari yang
menyelip masuk dari sela teralis seakan takut menyinari tubuhnya. Jun seorang
diri bersama mayat-mayat dan lalat-lalat yang mencari nafkah ditengah ruangan
yang cahaya pun ogah. Jun belum sarapan. Ia lapar.
Suara seorang wanita muncul dari pintu besi kamarnya,
menanyakan kabar. Jika kita hadir disana, terdengar jelas nada mengejek si
wanita itu. Tapi tidak untuk Jun, yang tidak mengerti kata-kata. “Aku
membawakan sarapan untukmu Jun, masih segar, baru ditangkap subuh tadi.” Selot
kotak di pintu kamarnya terbuka, cukup besar untuk memasukkan sekotak kado
natal, tapi yang muncul adalah sepotong tangan. Sepotong tangan dengan jari dihias
kuteks berwarna pink. Tangan itu dilempar ke dalam kamar. Mata Jun melotot
kegirangan. Kelaparannya berbicara. Langsung dilumatnya tangan itu, darah segar
bercipratan kemana-mana, membasahi kasur Jun yang hanya dilapisi karpet angkot.
Buru-buru selot itu ditutup oleh si wanita. “Jangan disisakan ya Jun, mubazir
nanti.” Suara wanita itu menjauh meninggalkan kamar Jun sambil terkekeh-kekeh.
Jun tidak lagi lapar.
Siang.
Wanita itu duduk di tengah ruangan besar di bawah lampu 60
watt. Tanpa jendela tanpa pernak-pernik di tembok, hanya diterangi satu lampu
dan diisi meja berbentuk donat dengan si wanita duduk ditengah-tengahnya. Ia
melihat sekeliling, pria dan wanita berpakaian rapi, lengkap dengan setelan
mahal, hanya saja mereka mengenakan sebuah pin merah di dada kiri, entah
penanda apa. Wanita itu tahu persis simbol itu, tapi di matanya pin itu hanya
simbol dosa besar, dosa masa lalu. Mereka mengelilinginya, sekilas terlihat
seperti rapat pemegang saham sebuah perusahaan. Tapi bukan, di benak si wanita
ini sebuah rutinitas yang sudah ia alami berulang kali sejak ia bekerja disini,
ia bosan.
“Bagaimana Wulan, apa
Jun sudah siap?” Tanya seorang pria bersuara serak yang duduk tepat di
depannya. “Sangat.” Jawabnya singkat. “Kapan Jun bisa operasional?” sahut suara
wanita tua di sisi kiri Wulan. “Secepatnya.” Suara Wulan tenang, tanpa emosi,
sudah seharusnya seperti itu. Dalam pekerjaannya, emosi atau perasaan atau
apapun itu sama sekali tidak dibutuhkan. “Baik kalau begitu. Malam ini Jun akan
kami berikan tes lapangan, semoga penilaianmu benar Wulan. Kau tidak ingin kejadian
malam itu terjadi lagi. Kehilangan aset bukan sesuatu yang bisa kami tolerir.”
Wulan mengangguk mendengar pernyataan pria serak didepannya. “Silakan kembali
Wulan, kami tunggu malam ini. Semoga ikatan darah tidak mengkhianatimu seperti sebelumnya.”
Wulan tidak menjawab apa-apa, ia hanya mengangguk kecil tanda menyetujui
nyawanya akan hilang jika percobaan kali ini gagal. Pandangannya seakan
menginginkan itu, ia ingin mati.
Sore.
Dari kamar Jun terdengar suara erangan dan teriakan yang
mengerikan. Jun menendang-nendang dan menghantamkan kepalanya ke pintu
kamarnya. Membuat para penjaga yang ditugaskan di depan kamarnya lari
ketakutan. Takut jika tiba-tiba pintu kamarnya yang terbuat dari besi itu akan
didobrak oleh si makhluk menjijikan itu. Tapi tidak mungkin, Jun tidak memiliki
kekuatan super. Bisa apa seorang (atau sesuatu) yang hanya diberi mayat dan
binatang-binatang untuk makan mendobrak pintu besi yang katanya digunakan juga
untuk menahan beruang grizly di taman safari? Secara akal sehat sangat tidak
mungkin. Tapi rasa takut memiliki cara untuk merasuki orang-orang bodoh,
seperti dua penjaga itu yang saat ini sedang terbirit lari mencari rasa aman. Langit
sore yang sedang cerah-cerahnya, seperti menertawakan mereka berdua dari balik
jendela besar koridor.
Jun kelaparan lagi. Makan siangnya habis. Teman barunya
tinggal tulang belulang dan tengkorak seorang pria muda yang masih berlumur
darah segar bekas makan siangnya tadi. Daging, urat dan ototnya sudah bersih
jadi makan siang Jun. darahnya habis pula jadi minuman agar tenggorokannya
tidak serat. Jun liar melompat sana-sini dalam kamarnya yang berbentuk kotak
itu, menghabiskan seluruh sisa-sisa bangkai dan mayat yang ada. Beberapa kecoak
dan cecak yang sekedar lewat bernasib na’as jadi kudapan sore Jun.
Bau kotoran, bangkai, darah dan keringat tidak jelas lagi
terbagi menciptakan wewangian baru yang khas. Semua bercampur dalam kamar Jun.
Hanya orang-orang yang sudah kehilangan syaraf indra pembau dan penglihat yang
mampu menguatkan diri masuk kesana. Seburuk-buruknya pemandangan dan bau di
bumi tersaji dalam kamar kotak itu, kamar Jun. Suara teriakan dan debuman
terdengar mengerikan dan menyedihkan disaat yang sama. Jun, yang lapar, Jun
yang mengerikan, dan Jun yang menyedihkan. Langit sore yang tadinya cerah, menutupi
diri dengan awan dan burung-burung yang berpindah entah kemana, enggan mengintip
dari balik awan.
Lorong depan kamar Jun kosong melompong. Tapi Jun tidak tahu itu.
Yang ia tahu hanya kepalanya yang kini mengalir darah segar terhantam tembok
beton. Ubun-ubun kepalanya bocor. Darah baginya bagai air mineral bagi kita.
Jun menganggap setiap hantaman akan menghilangkan dahaganya sedikit demi
sedikit. Membuat darahnya makin deras memancar tidak hanya dari ubun-ubun
kepalanya, tapi juga dari dahi dan matanya. Kegiatan olahraga Jun setiap
harinya adalah menggedorkan kepalanya ke tembok dan pintu. Setiap sore, mulai
dari adzan ashar, hingga adzan maghrib. Mengadu suara Muadzin dengan debaman
dan teriakannya yang menyuarakan kengerian.
Tanpa Jun ketahui, Wulan berdiri di depan pintu kamarnya.
Mendengarkan, memperhatikan setiap suara yang keluar dari kamar Jun. debaman
dan erangan, suara gigi melumat mayat, suara lidah menjilat kulit-kulit
bangkai, seakan mencari kedamaian dari suara mengerikan itu. Wajah Wulan basah.
Air mata keluar dari mata kanannya, yang disusul mata kirinya. Dua tetes air
terjun air mata mengalir perlahan menyusuri wajah Wulan. Ia terdiam, dalam dua
tetes air mata itu, Wulan mengawang, perasaannya memberontak, memantik kembali
sesuatu yang ia pendam semenjak lama. Sejak suaminya dibantai anak pertamanya,
Jana.
Kamar Jun hening tiba-tiba. Tidak terdengar apa-apa. Sesunyi
lorong ini ditengah malam. Hanya terdengar suara adzan maghrib. Wulan tersadar
dari bengongnya, menyadari bahwa matahari telah tenggelam. Waktu olahraga Jun
berarti sudah selesai. Wulan mengusap air matanya, lalu membuka selot di pintu
kamar Jun. langsung tercium bau yang teramat sangat menyengat, seperti kamar
mayat tanpa pengharum ruangan. Sambil menahan napasnya, Wulan mengintip,
terlihat kepala Jun yang ditutupi rambut yang warnanya tidak jelas lagi, merah
keruh darah. Sudah biasa seperti itu. Jun tidak akan mati, tidak dalam waktu
dekat. Wulan mengeluarkan pistol beramunisi semacam jarum suntik, yang diisi
dengan cairan adrenalin. Menembakkannya ke kepala Jun, tepat di dahinya. Selang
beberapa menit, Jun teriak. Berbeda dengan teriakannya sebelumnya, suara yang
keluar dari tenggorokannya lebih mengerikan, seperti teriakan orang yang baru
saja kembali dari neraka. Terus teriak dan menggeliat dalam kamarnya, mencabik
tubuhnya sendiri, mengeluarkan darah segar. Bermandikan darah, Jun hidup
kembali. Sementara Wulan, bertemankan cahaya bulan yang buram dari balik
jendela, melangkahkan kaki pergi, diiringi adzan isya yang baru saja
berkumandang.
Malam.
Persiapan untuk tes lapangan Jun sudah selesai. Orang-orang
yang siang tadi menyidang Wulan hadir, duduk di sebuah ruangan dengan kaca
besar untuk menyaksikan Jun. ruangan tersebut tepat di bagian atas sebuah
tempat yang seperti koloseum di Roma. Hanya saja berbentuk kotak dan terbuat
dari beton berwarna abu-abu, disinari lampu besar di dua sisi tempat tersebut.
mayat-mayat prajurit berseragam, gembel-gembel dan preman-preman pinggir jalan
bertebaran dimana-mana, dengan bagian tubuh yang tersebar. Darah kering menjadi
keramik pelapis tanah koloseum itu. seperti versi lebih luas dari kamar Jun.
hanya ada dua pintu, satu pintu kecil di satu sisi, dan satu pintu besar di
sisi yang berlawanan.
Terdengar beberapa langkah kaki dipimpin oleh suara sepatu
berlapis hak tinggi menggema sampai ke kamar Jun. Wulan dengan beberapa orang
penjaga berpakaian lengkap layak militer berjalan menuju kamar Jun. mereka
tiba, para penjaga Wulan minta menunggu sementara ia yang akan menghampiri Jun.
sebelum membuka pintunya, Wulan menembak Jun dua kali di dahi dan dadanya lewat
selot di pintu kamar Jun, membuatnya tidak sadarkan diri.
Melihat pintu terbuka, para penjaga mengambil langkah maju,
sambil mempersiapkan persenjataan. Tiga orang menggunakan peluru tajam,
sementara dua sisanya menggunakan peluru bius. Sebelum langkah kedua mereka
turun ke lantai, tangan Wulan sudah maju, menandakan agar mereka tidak
melangkah lebih dari tempat mereka berada sekarang. “aku akan memanggil
kalian.”. Mereka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa wanita itu menahan
bau yang sangat mengerikan itu masuk ke dalam hidungnya? Sementara mereka yang
menggunakan masker masih harus sedikit menahan nafas.
Bulan ditutupi awan kelabu. Menunjukkan gestur seakan ingin
menurunkan hujan. Wulan menghilang masuk ke dalam kamar Jun. hidung dan matanya
tidak mempedulikan bau dan pemandangan yang tersaji di kamar itu. seperti ia
mematikan ke-empat syaraf pengindera dalam tubuhnya, dan memusatkan semuanya ke
indera pengihatannya. Seluruh tubuh Wulan tertuju pada Jun yang kini terkapar
di atas tumpukan mayat.
Wulan berlutut. Membiarkan rok mahal yang ia kenakan tercium
darah yang membusuk. Wajahnya menunduk, tepat diatas wajah Jun. kotor, dan
menjijikkan, dua kata yang muncul di kepala orang-orang pada umumnya jika
melihat wajah makhluk aneh itu. tapi bukan dua kata itu yang muncul. orang
bilang mata dan wajah bisa berbicara, tapi tidak wajah Wulan saat ini. Wulan
terus menatap wajah Jun, entah untuk apa. tiba-tiba bibirnya bergerak perlahan,
mengucapkan sebuah kata tanpa mengeluarkan suara.
“Kalian boleh masuk sekarang. langsung bawa ke ruangan.”
Panggil Wulan. Wulan bangun, merapikan pakaiannya. Para penjaga masuk, empat
orang menggotong Jun yang sedang terkapar, satu orang berjaga-jaga di belakang
mereka. Satu orang, yang terlihat seperti pemimpin mereka, menanyakan kepada
Wulan, kenapa ia tidak ikut mereka menuju ruangan. “nanti saya akan menyusul.”
Jawab Wulan tenang. Si prajurit mengangguk, berjalan mengikuti di belakang barisan.
Jun membuka mata. Cahaya lampu menghantam matanya diantara
gelapnya langit malam. Ia belum pernah melihat cahaya lampu seterang ini
sebelumnya. Di depan matanya sudah terhampar lapang luas yang menyambutnya
riang dengan darah dan potongan-potongan tubuh. Seperti kamarnya, hanya saja
lebih luas cukup menampung 1000 orang. Jun gelagapan. Lari-larian sana sini,
mengerang, meneriakkan teriakan bak terompet sangkakala. Jun belum makan malam.
Ia lapar.
“buka pintunya.” perintah entah dari siapa muncul di pengeras
suara di pojok-pojok ruangan. Terbuka
pintu-pintu kecil di sisi yang berlawanan dari Jun berdiri. satu-persatu, baris
berbaris manusia muncul, berpakaian militer bersenjata tajam, semua berlari
menuju Jun. mata Jun berkilat, laparnya akan segera hilang. Untuk pertama kali
dalam hidupnya, Jun tersenyum. pesta makan malam.
Wulan tidak perlu untuk menyaksikan bersama para petinggi
untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di lapangan. Suara-suara teriakan
mereka sudah cukup menceritakan semuanya. Tangis, permohonan ampun, penyesalan,
kengerian, ketakutan dan tentang betapa menyedihkannya hidup mereka menjelang
kematian, semua terlihat jelas dari suara mereka. Wulan menyeringai, berjalan
menjauh dari penderitaan mereka.
Para petinggi beruntung hanya mampu melihat, tidak menyium
bau yang keluar dari kengerian yang baru saja mereka saksikan. Meskipun begitu,
mereka tidak menyukuri keberuntungan mereka. Beberapa dari mereka menutup mata,
muntah, tidak kuat melihat apa yang dilakukan Jun pada prajurit-prajurit
tersebut. namun ada beberapa yang bersemangat melihatnya, sampai menempelkan
wajah ke jendela agar bisa menonton Jun mencabik, mengoyak, menggerogoti para
makhluk malang yang menjadi makan malamnya. Tidak hanya kesadisan yang
ditunjukkan Jun, kecepatannya menghindari sabetan dan terjangan menjadi daya
tarik bagi para petinggi. Tidak perlu waktu lama sampai muncul keputusan “dia
siap.” Dari mereka. Koloseum gadungan itu menjadi prasmanan perdana bagi Jun.
Makan malamnya sudah habis. Perutnya belum menjinak. Jun
butuh makanan penutup. Jun menyadari jendela dengan para petinggi di baliknya,
makanan penutupnya malam ini. melihat dibelakangnya ada pintu besar, Jun
langsung menerjang pintu tersebut, menghantamnya sekuat-kuatnya berkali-kali.
Mencoba merobohkan pintu yang memisahkannya dengan makanan penutupnya.
“tenang saja, ia tidak akan mampu menembusnya. Kalaupun dia
mampu, masih ada barisan keamanan bersenjata lengkap yang harus ia lewati. Kita
aman disini.” Ucap si pria bersuara serak yang sebelumnya menyidang Wulan
berusaha menenangkan teman-temannya. Memang, harus melewati halangan-halangan
tersebut untuk menyantap makanan penutupnya. Tapi mereka tidak mengecek
kembali, apakah pintu yang memisahkan mereka dengan Jun terkunci atau tidak.
Berapa orang yang ditugaskan Wulan untuk menjaga mereka, mereka tidak tahu.
Teriakan-teriakan menyedihkan dan mengerikan sahut-sahutan
dari balik pintu. Jun sudah menghilang dari koloseum. Jun kini di balik pintu
tempat mereka menonton. Pasukan pengamanan yang mereka andalkan mati jadi
makanan Jun. dua orang bersenjata lengkap yang Wulan tugaskan tidak cukup untuk
menahan kelaparan Jun yang membabi buta. Dua orang yang sama tidak mampu
memenuhi birahi perut Jun. santapan makan malamnya masih tersedia di balik
pintu.
para petinggi mencari cara untuk melarikan diri dari Jun.
tapi hanya ada satu pintu keluar dan masuk, jendela-jendela ruangan tersebut
terbuat dari kaca anti peluru setebal 8 inci sehingga percuma mereka tembaki
berkali-kali sekalipun. Mungkin akan hancur jika dilempari granat atau
menggunakan bazooka. Namun tidak dengan pistol kecil kaliber 9 cm. mereka mulai
putus asa. Si pria bersuara serak yang tadinya paling tenang di ruangan,
menjadi yang paling panik. Sangat terlihat dari raut muka dan gelagatnya yang
terus memukuli jendela dengan kursi. Mereka panik. Mereka akan mati.
Pintu ruangan hancur dalam sekali terjangan oleh Jun. Wulan
tidak pernah mengunci pintu tersebut. makanan penutupnya di depan mata.
Permohonan ampun disertai teriakan-teriakan mengiringi kematian mereka satu
persatu bersamaan dengan rahang dan tangan Jun yang menggerakkan diri,
mengakhiri hidup mereka. Jun menjadi pemandangan terakhir yang mata mereka
lihat. Santapan makan malam Jun lengkap sudah.
“sudah kenyang Jun? atau masih mau lagi?” Wulan berdiri tepat
di depan pintu. Membawa potongan-potongan kaki berlumur darah yang masih segar.
Jun hanya menjawab dengan raungan dan kaki yang menderap ke arah Wulan. Wulan
menghindarinya, berlari entah kemana. Namun kedua kaki yang tadi dibawa oleh
Wulan tergeletak di lantai, lalu diikuti dengan potongan-potongan jari kaki
yang seakan-akan membentuk jejak, mengarah ke satu tempat. Jun menyantap
jari-jari tersebut dengan nikmat. Tanpa menyadari bahwa ia sedang diarahkan.
Jari-jari kaki tersebut berhenti menyediakan diri tepat di
depan kamar Jun. Ia melihat kedalam kamar, melihat Wulan terbaring di kasurnya
yang menjijikkan dalam kondisi telanjang bulat hanya ditutupi dengan secarik
kertas kecil di atas perutnya, seakan menyerahkan diri untuk disantap Jun.
“silakan Jun, sudah lama bukan kau kusediakan daging hidup apalagi daging ibumu
sendiri?” ucap Wulan menyeringai. Jun yang tidak pernah mengetahui kata-kata
dan cara berbicara hanya bisa langsung menanamkan kuku dan giginya pada Wulan. Wulan
menjadi makan malam kedua yang paling enak dan mengenyangkan bagi Jun. Jun
terkapar, ia kekenyangan, ia hidup malam ini.